Penulis: Tim GFN
Keberadaan lalat di lingkungan peternakan dapat menimbulkan dampak buruk, sehingga keberadaannya tidak bisa dianggap enteng. Perlu strategi yang baik dan didorong produk yang tepat untuk program pengendaliannya.
Dalam mendukung perkembangan peternakan untuk meningkatkan produktivitas hewan ternak, diperlukan suatu upaya dalam pencegahan penyakit. Penyebaran penyakit pada hewan ternak disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit, yang dapat berlangsung secara cepat. Disisi lain, peternak juga tidak boleh mengesampingkan keberadaan lalat, yang merupakan salah satu ektoparasit yang dapat berperan sebagai vektor mekanik dengan cara menghisap darah dari tubuh inang (ternak sakit) kemudian memindahkannya ke ternak sehat.
Secara umum, perkembangan populasi lalat di peternakan menyebabkan kerugian ekonomi pada produksi ternak (Taylor et al., 2012; Narladkar 2018). Selain itu, masalah kesehatan juga timbul akibat adanya keberadaan lalat di peternakan. Dampak langsung pada ternak dapat menyebabkan stress dan kecemasan yang mengakibatkan konsumsi pakan menurun, terjadi lesi pada kulit, dan adanya myasis fakultatif, sehingga mengganggu kesehatan ternak (Nosal et al., 2019). Diantara banyak spesies lalat, beberapa dapat ditemukan di peternakan, seperti Haematobia irritans, Hippobosca sp., Stomoxys calcitrans, Tabanus sp., Chrysops sp., dan Musca domestica (Antoh et al., 2021).
Gigitan lalat tanduk (Haematobia irritans) sering menyebabkan ketidaknyamanan pada ternak dan menurunkan produktivitasnya terutama pada sapi perah, sehingga menyebabkan penurunan produksi susu (Melo et al., 2020). Perkembangbiakan lalat Hippobosca sp. di daerah tropis berlangsung cepat dan berperan sebagai vektor penyakit trypanosomiasis (Surra) (Septianingsih et al., 2019). Populasi ternak yang tinggi, dapat mengakibatkan aktivitas lalat dalam menggigit yang tinggi pula dalam kandang, sehingga mengganggu kegiatan makan yang berefek pada menurunkan bobot badan (Phasuk et al., 2013).
Kemudian lalat Stomoxys calcitrans dilaporkan bertindak sebagai vektor pembawa agen penyakit pada hewan ternak, seperti protozoa (Besnoitia besnoiti), bakteri (Escherichia coli), dan larva cacing yang infektif (Castro et al., 2007). Dari sekian banyak populasi lalat, Musca domestica dapat hidup di berbagai kondisi lingkungan dan menyebarkan sejumlah besar penyakit seperti salmonellosis pada unggas, serta sebagai vektor penyakit virus seperti Avian Influenza subtyoe H5N1 pada ayam dan Turkey coronavirus pada kalkun (Moon, 2009 ; Callibeo, 2003; Wanaratana, 2013). Lalat akan mengalami metamorfosis sempurna dengan tahapan telur, larva atau belatung, pupa, dan dewasa (Sanchez-Arroyo and Capinera, 2020). Keadaan suhu panas yang hangat, umumnya optimal dalam perkembangbiakan lalat dan mampu menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu singkat selama tujuh sampai sepuluh hari (Sanchez-Arroyo and Capinera, 2020).
Kondisi tropis dengan kelembapan tinggi, suhu hangat, dan melimpahnya sumber makanan (kotoran hewan) bagi lalat, membuat populasi perkembangbiakan menjadi tinggi (Andiarsa, 2018). Keadaan tersebut mengharuskan peternak untuk melakukan strategi pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan vektor lalat. Program pengendalian lalat secara terintegrasi dapat dilakukan dengan cara:
- Menjaga sanitasi kandang: Eliminasi semua tempat yang memungkinkan lalat berkembang biak, seperti litter basah, hewan mati, telur rusak/ pecah, pakan, serta kotoran hewan harus dibuang atau dikeringkan jika ingin disimpan. Selanjutnya pengecekan tempat minum agar selalu diganti dengan yang baru, atau mengurangi wet litter untuk mencegah kondisi lembap yang sangat disukai populasi lalat.
- Fly Traps: Penggunaan perangkap lalat juga mendukung efektivitas dalam mengurangi populasi kerugian lalat. Umumnya peternak menggunakan kertas perekat (fly paper), atau ultraviolet light (electric traps).
- Bahan kimia (Insektisida/larvasida): Penggunaan bahan kimia menjadi alternatif, bahkan pengendalian utama pada peternakan karena sangat efektif dan mudah untuk mengontrol populasi hama lalat di kandang.
Dalam melakukan pengendalian tersebut, peternak masih banyak menggunakan Organofosfat yang sistem kerjanya masih lambat, berpori, dan selama aplikasi membutuhkan dosis yang tinggi untuk membunuh lalat. Berdasarkan pemikiran di atas, PT Ganeeta Formula Nusantara melakukan pembuatan produk pengendalian lalat berupa Fendona® SC, yang merupakan insektisida residual yang bekerja tinggi dengan kriteria rendah dosis dan rendah bahaya terhadap hasil produksi ternak. Fendona® SC bekerja baik dalam hal knockdown, residual pada permukaan basa dan lingkungan yang kaya alkali seperti pada litter, serta memiliki fungsi, diantaranya:
- Aktif melawan berbagai hama serangga baik melalui kontak langsung maupun konsumsi,
- Cocok digunakan untuk perumahan, poultry, dan public hygiene seperti rumah sakit, hotel, dan restoran,
- Kondisi lingkungan yang baik bisa membuat Fendona® SC cocok untuk dikendalikan di area sensitif, dan
- Tersedia dalam formulasi yang berbeda.
Komponen utama Fendona® SC berupa bahan aktif Alphacypermethrin yang memiliki spektrum luas yang sangat aktif terhadap insektisida, efektif melalui kontak dan konsumsi terhadap hama sasaran. Fendona® SC bekerja dengan cara mengganggu sistem saraf insect, membuka saluran ion Na+ pada permukaan sel-sel saraf insect dan menghambatnya untuk menutup kembali, sehingga menyebabkan transmisi impuls saraf secara terus-menerus. Akibatnya, insect yang terkena akan mengalami inkoordinasi gerakan, imobilitas, dan kematian. Pengaplikasian Fendona® SC dapat digabungkan dengan desinfektan lain dan dapat digunakan dua kali dalam satu periode pemeliharaan ternak. Selain itu, penggunaan Fendona® SC tidak memengaruhi hasil ternak, meskipun diaplikasikan saat ada ayam dan telur. Disarankan untuk menggunakan knapsack pada saat aplikasi, untuk meminimalisir stres pada ayam.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan Fendona® SC dapat membunuh lalat dan juga serangga merugikan lainnya dengan kepadatan tinggi di peternakan sehingga dapat meningkatkan kinerja produksi dan performa hewan ternak. Adv
Baca juga : Mekanisme kerja herbal terformulasi sebagai antibakterial dan antioksidial